Jumat, 06 Mei 2011

Jumadil Akhir, Bulan Sang Sufi Berputar, BULAN YANG DIPERINGATI SEBAGAI HAULNYA SEORANG SUFI BESAR : JALALUDDIN RUMI

Paruh pertama bulan Jumadil Akhir, dalam sejarah Islam dikenal sebagai hari wafatnya seorang sufi besar dari Turki, Maulana Jalaluddin Muhammad Balkhi Ar-Rumi, yang lebih dikenal sebagai Jalaluddin Rumi.

Ia lahir di Balkh, Afghanistan, pada 604 H atau 30 September 1207 M. Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al-Balkhi Al-Qunuwi. Gelar “Ar-Rumi” diperoleh karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang pernah termahsyur sebagai daerah Rum (Romawi Timur).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husain, adalah seorang ulama besar bermazhab Hanafi, yang digelari Sulthanul Ulama. Gelar itu menimbulkan rasa iri ulama lain, hingga ia diadukan ke penguasa dengan berbagai tuduhan palsu. Bahauddin beserta keluarga, termasuk Rumi, yang baru berusia lima tahun, kemudian diusir dari Balkh dan hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki.

Gembira dengan kedatangannya, Raja Konya, Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, sekaligus memimpin sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di madrasah itulah Rumi kecil berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq At-Turmudzi, sahabat ayahnya yang menggantikan memimpin perguruan.

Selain itu, Rumi juga menimba ilmu di Syam dan baru kembali ke Konya pada 634 H untuk ikut membantu mengajar pada perguruan ayahnya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, disamping sebagai guru, ia juga menjadi muballigh dan faqih terkenal.

Kehidupan Rumi berubah total ketika suatu hari ia berjumpa dengan Syamsuddin alias Syamsi Tabriz, seorang sufi pengelana. Saat itu, Rumi tengah mengajar, ketika seorang lelaki asing mengajukan pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?”

Mendengar pertanyaan itu, Rumi seperti terkesima dan tidak mampu menjawab. Ia, yang penasaran, kemudian berkenalan dengan orang asing yang tidak lain adalah Tabriz. Rumi kagum dengan pemahaman Tabriz, hingga tanpa sadar ia berbincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz sampai berhari-hari.

Jalaluddin Rumi mempunyai anak bernama Sultan Salad.

Putra Rumi tersebut mengisahkan, “Sungguh, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski beliau sendiri alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataan. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada tara.”

Begitu asyik Rumi belajar kesufian hingga ia lalai dengan tugas mengajarnya. Murid-muridnya pun protes dan menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut akan muncul fitnah yang membahayakan dirinya, Tabriz diam-diam meninggalkan Konya.



The Wirling Dervishes

Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, Rumi dirundung duka. Setiap hari ia hanya mengurung diri di dalam rumah. Mendengar kabar itu, Tabriz yang berada di Damaskus, segera berkirim surat dan menegur Rumi. Mendapat surat dari gurunya, gairah hidup Rumi bangkit, dan ia pun kembali mengajar.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk menjemput Tabriz di Damaskus. Kembalinya Tabriz ke Konya membuat Rumi larut lagi dalam diskusi sufistis dan mengabaikan murid-muridnya.

Murid-murid Rumi kembali menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz, hingga sufi pengelana itu pergi lagi dengan diam-diam. Namun, kali itu ia tidak pernah ditemukan lagi meski Rumi mencarinya hingga ke Damaskus.

Kesedihan dan kerinduan Rumi dengan sang guru itulah yang mengilhami puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku berjudul Divan-i Syams-i Tabriz atau Diwan At-Tibrizi. Sedangkan ajaran dan wejangan gurunya dikumpulkan Rumi dalam buku yang berjudul Maqalat-i Syams Tabriz.

Selang beberapa tahun, Rumi bertemu dengan seorang sufi lain, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad, yang berhasil membangkitkannya untuk menjalani hidup sebagai sufi besar. Berbagai karya sufistis ia hasilkan dalam 15 tahun terakhir hidupnya. Diantaranya, Matsnawi, berisi 20.700 bait syair tentang ajaran tasawuf dalam bentuk apologi, fabel, legenda, dan anekdot; Ruba’iyyat, sajak sufistis berbentuk empat baris-empat baris; Fihi Ma Fihi, kumpulan prosa berisi ceramah sufistisnya; dan Maktubat, kumpulan surat-suratnya.

Bersama Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Tarekat Maulawiyah, yang di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes, para sufi yang berputar-putar. Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini dalam dzikirnya melakukan tarian berputar yang diiringi gendang dan seruling untuk mencapai ekstase.

Tahun 672, penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, mendengar tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendoakan untuk kesembuhannya. Dengan tenang ia (Rumi) menjawab, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik.” Dan tepat tanggal 5 Jumadil Akhir tahun itu juga, Rumi berpulang ke rahmatullah dalam usia 68 tahun.

Sufi lain yang mempunyai ikatan dengan bulan Jumadil Akhir dan Rumi adalah Fariduddin Aththar. Ia gugur di tangan tentara Mongol yang menyerbu negerinya, Naisabur (Persia), pada 10 Jumadil Akhir 618 H. Aththar-lah yang pertama kali meramalkan bahwa Rumi kecil yang dijumpainya akan menjadi seorang sufi besar, saat keduanya berjumpa secara tak sengaja.

Aththar lahir sekitar tahun 540 H, meninggalkan banyak karya tulis yang berisi segala pengalaman sufistis yang dijumpainya sepanjang perjalanan hidupnya. Karyanya yang paling terkenal adalah kitab syair berjudul Mantiquth Thayr, perbincangan burung. Selain itu, ia juga menulis Tadzkiratul Awliya, Ilahi Nameh, Asrar Nameh, dan Mushibat Nameh.

.

Sumber: Majalah ALKISAH No. 13 Tahun V, Halaman 120-122.